KAMARIAN - AMALOHI

15.59





Setelah terjadinya perang saudara atau Risa Siwa Lima yang menyebabkan Moriale atau kebangsaan yang pertama terpecah menjadi Henaja atau banyak Negeri, maka disinilah proses terjadinya negeri Amalohy (Kamarian) itu berlangsung.
Pada saat itu kelompok masyarakat atau keluarga – keluarga atau matarumah keluar meninggalkan Nunusaku dan Talamenasiwa mencari tempat perteduhan yang baru sebagai manifestasi terbentuknya Henaya atau Negeri-Negeri. Kelompok keluarga atau Matarumah moyang Amalohy-pun demikian, meninggalkan Nunusaku dan Talamenasiwa menuju suatu tempat perteduhan/kediaman yang baru. Dalam perjalanan pengembaraan mereka menemukan suatu tempat yang dianggap layak dan cocok untuk didiami yaitu di sebuah bukit yang letaknya kira-kira 4 (empat) km sebelah utara Negeri Kamarian sekarang. Tempat dan kelompok masyarakat ini sekaligus merupakan embrio terbentuknya negeri Kamarian. Namun tidak diketahui dengan pasti pada abad ke berapakah negeri atau kelompok ini terbentuk. Dari prasasti atau peninggalan yang ada diperkirakan antara abad ke 12 hingga abad ke 13 Masehi.
Lebih lanjut ceritera tentang sejarah terbentuknya negeri Kamarian ini dikutip dari ceritera yang diturunkan oleh leluhur para pendiri negeri Kamarian dan ditulis oleh almarhum Bpk. SEFNATH SILAS TAURAN.
Sebelum bangsa Portugis dan Belanda berada didaerah Maluku, sebuah negeri telah ditempatkan pada tempat tersebut diatas dengan penduduk yang terdiri pada mulanya dengan beberapa keluarga antara lain: Keluarga Tomatala, Kainama, Tauran, Putirulan, Tuaputimain,Wairata, Terinate, Talapessy , Poceratu dan Pariama akiabat terjadi pengungsian besar-besaran dari pedalaman Nusa Ina Barat ( Seram Barat), sedangkan keluarga-keluarga lainnya seperti misalnya ; keluarga Tupanwael, Tureai, Tuhehay/Pattiasina, Tuparia, Pessireron, Pentury dan lainnya masih hidup terpencar-pencar mulai pada jalur sungai Ohatuniwei, air Isirwain, Air Wairanai. Keluarga-keluarga atau mataruma-mataruma ini kemudian dapat dihubungi oleh Kapitan Marisa (Putirulan) untuk bergabung pada tempat yang disebut negeri lama dengan nama “ SAMALIANE “ yang artinya bersatu kita teguh.
Bukti keberadaan Negeri Lama tersebut antara lain :

1. Ditempat tertinggi pada bukit itu terdapat sebuah tugu peringatan yang terdiri dari 3 (tiga) buah tiang batu dan diantaranya terletak sebuah batu papan kejadian alam, persegi empat memanjang dengan ukuran kira-kira 60 x 80 cm dan tebalnya kira-kira 15 cm. Letak 3 (tiga) buah tiang batu itu yaitu ; 2 (dua) buah berkedudukan sejajar di selatan dan timur dan 1 (satu) buah yang lainnya berdiri di utara barat yang bila ditarik sebuah garis, melukiskan segitiga memanjang yang sudut lancipnya menuju Nunusaku, yang bertujuan untuk member kesan bahwa dari Nunusaku-lah mereka datang dan supaya hubungan dengan Nunusaku tidak boleh dilupakan maka untuk mendukung ini terdapat sebuak kapata dalam lagu tata perang berbunyi :

Hia – Hoi ---- Hia - Hoi Nunusaku Amalohy Hia - Hoi
Hia – Hoi ---- Hia – Hoi Amalohy Nunusaku Hia – Hoi

2. Terdapat 6 (enam) buah rumpun bamboo yang lebat mengelilingi sebelah selatan untuk menahan tekanan angin guna kepentingan pembangunan perumahan
3. Terdapat rumah adat (baileu) yang pada saat itu disebut Leukawa
4. Dibawa batu prasasti ( batu papan) terdapat titik-titik koda dan terdapat juga sebuah piring berbunga dan bergaris dan terdapat beberapa pecahan-pecahan lainnya
5. Terdapat pula Kuburan-kuburan atau seperti pemakaman umum disebelah utara negeri lama, dimana teratur batu-batu sebagai tanda pekuburan tersebut.

Hal ini menunjukan tingkat peradaban mereka dan sekaligus menunjukan bahwa sejak itu sudah ada komunikasi dengan pihak luar, seperti yang pernah ditulis oleh seorang penulis kebangsaan Belanda bernama Pieter Van Dam, bahwa sebelum berhubungan dengan orang Belanda orang Kamarian telah mengadakan hubungan dengan orang Portugis, pedagang dari Makasar, Jawa, Cina maupun dari Gujarab.

Hari,bulan dan tahun berganti, terus menerus dengan cara primitif penuh siap siaga dan selalu mengadakan aksi-aksi pembersihan terhadap penyerang-penyerang yang yang senantiasa berusaha memancung kepala dan dibawa lari, dimana hal tersebut pernah terjadi kepada seorang tua PESIRERON diculik dan kepalanya dipancung meninggalkan tubuh jenasah tanpa kepala oleh beberapa orang ALFOER dari negeri Ahiolo dan Abio penduduk pedalaman Seram Barat di daerah pegunungan yang menjadi musuh penduduk SAMALIANE dari arah sebelah Timur serta orang Hunitetu dan Imabatai sebelah Utara pegunungan.
Adapun tempat yang mereka pilih itu menjadi sebuah negeri adalah benar-benar mempunyai segi strategi perang, karena berada diatas sebuah dataran tinggi puncak bukit dikelilingi jurang yang terjal, dan pada jalur-jalur siasat perang yang tertentu, mereka membuat benteng terdiri dari susunan batu kali satu diats lain tanpa bahan perekat, dimana batu-batu itu diambil dari dalam kali dan dilakukan dengan cara gotong royong yang satu berdiri disamping yang lain dari tepi kali sampai ke puncak tempat benteng tersebut dibuat, sebagai tempat perlindungan membina pertahanan dan keamanan bagi seluruh penduduk keluarga dan anak-anak. Dengan adanya kenyataan permusuhan ini, jelas bahwa penduduk tidak pernah mengalami hidup aman dan tentram, karena selalu ada saja ancaman pemancungan kepala sehingga kebudayaan dan kesenian tidak dapat berkembang dengan sebaik-baiknya.

Terkait dengan perkembangan diatas, maka kondisi ini mulai membaik setelah kehadiran bangsa Portugis, serta suku-suku bangsa yang melakukan hubungan dagang dari Makasar, Ternate, Bacan, Bali , jawa yang diperkirakan sekitar tahun 1600 an atau abad ke 17, sejalan dengan itu suhu ancaman dari luar mulai menurun dan penduduk mulai legah.
Menjelang pertengahan Abad ke 16 yang diperkirakan antara tahun 1511 hingga tahun 1540 sebuah kapal layar bangsa Portugis berlayar memasuki mulut suangai Waiaka (terletak samping timur negeri Kamarian sekarang ) dan membuang jangkar unturk berlabuh di daerah itu. Kehadiran kapal layar tersebut dapat diteropong pos pengamat pesisir pantai yang berada di puncak pohon kayu yang tinggi, hal ini dilaporkan kepada pimpinan tertinggi saat itu Kapitano panglima tertinggi. Kapitano atau panglima tertinggi segera naik ke pos pengamat untuk melihat langsung melalui teropong bambu yang dibuat sendiri untuk maksud itu. Kemudian kapitano memmerintah semua kepala pasukan supaya berkumpul untuk membicarakan kehadiran kapal layar bangsa asing dimaksud, siasat apa yang harus diambil untuk mengetahui tujuan serta maksud kapal layar asing itu melakukan persinggahan dan berlabuh di mulut sungai Waiaka. Setelah mengadakan musyawarah yang cukup tegang , akhirnya tercapai kata sepakat untuk semua pasukan disiapsiagakan mengambil tempat memasuki kolam-kolam perlindungan disekeliling benteng melindungi penduduk negeri. Yang masih berada dalam gerakan pemeriksaan daerah dipanggil pulang supaya seluruh kekuatan terkumpul untuk mempertahankan sampai pada titik darah penghabisan dengan semboyan “ Bersatu Kita Teguh “. Setelah beberapa hari mengamati gerak-gerik kapal layar Portugis tersebut masih belum meninggalkan mulut sungai Waiaka tersebut. Maka oleh Panglima tertinggi Kapitano Putirulan, segera diadakan musyawarah kembali untuk mengambil keputusan mengusir kapal layar tersebut yang membuat keadaan sangat panik. Dalam perundingan tersebut dengan meningat peralatan dan perlengkapan perang yang ada dalam kapal layar bangsa asing tersebut , maka tercapailah kata sepakat untuk perlu memperoleh informasi jelas dari dekat, apa yang sedang anak buah kapal tersebut lakukan dalam gerak gerik mereka. Untuk itu perlu ada seseorang ditunjuk untuk mengadakan pengintaian dari dekat agar ada keterangan-keterangan lengkap yang diperoleh untuk menentukan kebijaksanaan lebih lanjut.
Setelah diadakan pengamatan tentang orang yang akan ditunjuk untuk menjalankan keputusan yang telah diambil itu, maka salah seorang dari keluarga Wairata yang adalah seorang marinyo atau pembantu menjalankan perintah yang dianggap cukup cakap dan bijaksana untuk tugas tersebut.
Keesokan harinya, pagi-pagi setelah hari mulai terang anak buah kapal layar pertugis itu bersiap untuk mengamati daerah dimana kemarin pengintip Wairata telah diketahui oleh mereka. Sesuai dengan perhitungan waktu yang tepat pengintip Wairata segera menyelinap dari pohon yang satu ke pohon yang lain menuju tempat kemarin ia berada, untuk dari situ bergerak lebih dekat melalui semak-semak yang sangat lebat untuk lebih mengetahui dengan jelas sebagai bahan keterangan yang akan dilaporkan kepada pimpinan yang sedang menunggu. Gerak beliau sangat cepat dan telah berada pada tempat yang dituju, beliau tertarik sekali dengan benda-benda yang dipamerkan diatas kapal itu. Akhirnya beliau dapat mendekati sampai pada jarak kurang lebih 25 meter dari tepi sungai dimana kapal itu berlabuh. Dengan teliti beliau memperhatikan perkembangan terutama dengan adanya penggantungan benda-benda perhiasan dan bahan-bahan pakaian termasuk bahan kain berang (merah tua). Beliau menyadari bahwa ini adalah suatu siasat yang sangat berbahaya bila beliau berada terlalu lama di tempat ini, maka beliau segera mengambil langkah untuk meninggalkan tempat itu, tapi beliau segera disergap oleh anak buah kapal portugis tersebut yang sudah lama menunggu kesempatan yang tepat. Pengintai Wairata tidak dapat berbuat banyak, dengan cerdik beliau tidak membuat perlawanan, namun mengadakan pembicaraan dengan memakai bahasa isyarat. Orang Portugis dapat memahami apa yang dimaksudkannya dan beliau dibawah ke kapal untuk melakukan pembicaraan lebih lanjut. Diantara beranega barang yang menarik yang dipamerkan oleh orang portugis itu membuat Wairata lebih aktif untuk berkomunikasi menyampaikan pendapat dan orang portugis juga dapat menyampaikan maksud kedatangan mereka. Dari komunikasi yang dibangun dapat di pahami bahwa, barang-barang yang indah indah itu, yang dipamerkan diatas kapal dapat menjadi milik Wairata atau masyarakat sekitarnya jika ditukar dengan Damar, Bunga-bunga kenangan yang berbau harum itu dan lain sebagainya. Melalui perbincangan dengan isyarat itu akhirnya dapat kata sepakat untuk beliau haru berusaha menurunkan penduduk yang berada di puncak bukit ke pesisir pantai dan sebagai imbalan beliau akan menerima Kepala Rotan Emas sebagai pemimpin dan sejumlah besar benda-benda termasuk cermin, kain berang, pakaian dan sarung yang akan menjadi bahan menarik untuk mengendalikan penduduk turun mendiami pesisir pantai dan membuat sebuah negeri di pesisir pantai.
Begitulah persetujuan ini dicapai melalui pembicaraan dengan bahasa isyarat yang membuat pengintip Wairata dengan cerdik berhasil dilepaskan oleh anak buah kapal layar portugis untuk kembali ke tempat tinggalnya. Dalam perjalanan kembali ke negeri Samaliane, dia sempat berfikir bagaimana caranya agar penduduk mau mengikutinya turun ke tepi pantai, sedangkan menurut pemikiran beliau kemungkinan itu sangat tipis, karena bangsa asing itu belum diketahui dengan pasti apa yang menjadi tujuan mereka datang di daerah Kamarian pada saat itu, apakah mereka akan menguasai atau membunuh penduduk setempat ataukah ada tujuan-tujuan lain yang belum bisa dipahami. Dalam perhitungan dan pertimbangan langka yang akan diambil beliau tiba pada suatu keputusan setelah mendapat kesimpulan dari berbagai hal, maka sejumlah benda perhiasan dan bahan pakaian disembunyikan dengan maksud agar beliau dapat mengumpulkan orang-orang yang dapat beliau pengharuhi supaya bersama-sama dengan beliau mendahului turun dari negeri di bukit ini ke tepi pantai. Menurut perhitungan Wairata, bila sebagian penduduk sudah pindah ke pesisir pantai lama kelamaan semua penduduk akan tertarik untuk menggabungkan diri di tempat tinggal yang baru di tepi pantai.

Atas kecerdikan beliau, maka kemudian dengan benda-benda dan bahan-bahan yang dijadikan bukti hasil tugasnya, beliau segera menghadap pimpinan negeri untuk melapor. Oleh pimpinan negeri laopran itu masih perlu diperkuat dengan bukti atau beberapa keterangan tambahan, maka Wairata ditugaskan sekali lagi dan harus kembali dengan keterangan yang dibutuhkan. Dengan tugas ini memberikan peluang bagi Wairata untuk mematangkan rencananya sesuai kesepakatannya dengan pihak asing tersebut.
Setelah beliau kembali dari pertemuan dengan orang portugis, beliau mengumpulkan orang-orang yang sudah dipengharuhi untuk menerima baha-bahan dari beliau, dan menggemparkan berita bahwa semua penduduk dan keluarga harus melarikan diri karena bangsa kulit putih sedang dalam perjalanan untuk menyerang penduduk negeri Samaliane. Dengan menggemparkan berita bohong ini maka terjadi pelarian penduduk mengungsi dari negeri, sementara pasukan perang tetap berjaga-jaga. Penduduk yang telah dipengharuhi mengikuti beliau dan turun ke tepi pantai di tempat yang disebut Hohon di dalam kampong Tengah negeri Kamarian sekarang.
Dengan berkumpulnya mereka ditempat tersebut merekapun membuat perumahan darurat dan membangun komunikasi dan kerjasama lanjutan dengan orang portugis. Sesudah dalam jangka waktu tertentu orang Portugin dengan kapal mereka meninggalkan mulut sungai Waiaka meneju ke bagian barat. Sebagian penduduk yang belum bergabung, setelah mengetahui bahwa kapal layar bangsa asing itu telah pergi meninggalkan mulut sungai Waiaka, mereka mulai berangsur-angsur turun ke tempat di tepi pantai dan akhirnya semua penduduk menempati tempat itu dan mulai mendirikan negeri baru yang diberi nama SAMARIEN, kemudian dalam perkembangan lebih lanjut disebut CAMARIEN dan akhirnya menjadi Nama KAMARIAN seperti sekarang ini.
Setelah Portugis terusir dari Maluku oleh Belanda, maka mulailah VOC memainkan perannya sampai timbul PERANG HUAMUAL atau yang disebut HONGI TOCHTEN.

Sumber : http://amalohy-sejarahbudaya.blogspot.com

You Might Also Like

0 komentar